Kehalalan Obat, Antara Darurat dan Haram

Dalam dunia kedokteran, organ babi merupakan bahan yang paling sering dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk keperluan transplantasi. Mengapa harus babi? Ternyata hewan yang haram dan najis ini paling memiliki kemiripan dengan organ manusia. Struktur DNA nya pun memiliki kemiripan dengan struktur DNA manusia. Dengan demikian organ babi dan bagian-bagian tubuhnya paling kompatibel dengan tubuh manusia.

Pada kenyataannya tidak hanya benang jahit yang diambil dari tubuh babi, melainkan juga bagian-bagian yang lain, seperti enzim, hormon, protein dan serum. Enzim babi sering dimanfaatkan dalam pembuatan vaksin dan bahan aktif obat. Sementara yang sudah banyak diketahui dunia medis, insulin yang merupakan kebutuhan mendesak bagi para penderita diabetes, hampir semuanya berasal dari insulin babi. Sekali lagi, karena insulin babi lah yang paling cocok dan tidak menimbulkan penolakan dari tubuh manusia.

Beberapa organ tubuh manusia yang mengalami kerusakan seringkali ditransplantasi menggunakan organ lain yang sejenis. Selain dari organ sesama manusia, yang sering digunakan adalah organ babi. Misalnya saja katup paru-paru, ginjal dan jantung. Selain bentuk dan fungsinya yang mirip dengan organ manusia, kemiripan DNA itulah yang menyebabkan resiko penggunaan babi sukup rendah dibandingkan alternatif sumber lainnya.

Transplantasi dengan organ manusia sering menemui kendala etika. Apalagi jika organ itu diambil dari manusia yang masih hidup. Pada beberapa kasus, hal demikian menimbulkan kontroversi karena menyangkut hak asasi manusia. Oleh karena itu para ahli kedokteran barat lebih suka menggunakan bahan selain dari organ manusia. Pilihan akhirnya jatuh kepada babi yang memiliki banyak kelebihan. Selain murah, mudah dan secara teknis paling sedikit resikonya, bagi masyarakat non muslim hal ini tidak menimbulkan penolakan.

Alternatif lain yang juga sudah diaplikasikan adalah organ yang terbuat dari metal atau sintetis. Pada kasus katup paru-paru dan jantung saat ini sudah ditemukan organ buatan yang terbuat dari metal. Namun sebenarnya dari segi resiko penggunaan bahan metal ini akan menimbulkan penolakan dari dalam tubuh pasien karena dianggap sebagai benda asing.

Dari kasus-kasus yang sudah diungkapkan di atas memang terlihat aspek daruratnya. Kalau sampai saat ini belum ada alternatif yang lebih baik atau minimal sama dengan penggunaan organ babi, mungkin hal itu masih bisa ditoleransi. Bagaimanapun dalam hal demikian resiko jika tidak menggunakan organ babi bisa saja berakibat fatal hingga meninggal dunia. Oleh karena itu penggunaan barang haram dan najis tersebut dianggap dalam kondisi darurat yang dengan terpaksa membolehkan penggunaan bahan haram.

Pada kasus-kasus yang lain, aspek darurat ini masih perlu dipertanyakan lebih lanjut. Seperti pada penggunaan cangkang kapsul yang berasal dari gelatin babi. Untuk obat-obatan tertentu yang sangat mendesak dan harus dibungkus dengan cangkang kapsul babi tersebut, mungkin masih bisa dinaklumi. Tetapi untuk aplikasi yang tidak mendesak atau kurang terlalu penting bagi seorang konsumen, apakah penggunaan gelatin babi tersebut masih bisa ditoleransi?

Saat ini selain obat-obatan, banyak pula multi vitamin dan suplemen makanan yang juga dibungkus dengan cangkang kapsul. Vitamin dan suplemen makanan ini memang dibutuhkan oleh kalangan tertentu, tetapi tidak terlalu mendesak. Apalagi untuk sekedar menjaga stamina, meningkatkan vitalitas dan untuk menjaga kesegaran kulit. Misalnya saja vitamin E yang dibungkus dengan kapsul lunak (soft capsule) yang peluang menggunakan gelatin babinya cukup tinggi. Nah, apakah dengan demikian penggunaan gelatin babi ini termasuk dalam kategori darurat?

Selain itu proses pembuatan berbagai jenis vaksin juga memungkinkan penggunaan enzim atau media dari babi atau hewan lainnya (kera). Majelis Ulama Indonesia memang pernah mengeluarkan fatwa kehalalan vaksin tersebut, mengingat mudhorot yang lebih besar jika vaksinasi dihentikan sama sekali. Hal ini dilakukan dengan catatan bahwa beberapa produsen vaksin tersebut akan melakukan riset guna menghasilkan vaksin yang berasal dari bahan-bahan halal. Dengan demikian penggunaan alternatif bahan halal untuk kasus tertentu, misalnya vaksin, sebenarnya masih terbuka lebar. Tinggal bagaimana para peneliti dan produsen obat ini mampu menggunakan segenap kemampuannya untuk melakukan riset guna menghasilkan obat dan vaksin halal.

Untuk menjawab tantangan tersebut dan memberikan alternatif obat-obatan halal, memang perlu definisi yang lebih jelas mengenai darurat ini. Peran Ulama sangat dibutuhkan dalam memberikan acuan, sehingga para praktisi dan produsen obat bisa menggunakannya secara tepat. Selain itu perlu kajian yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten untuk menggali alternatif-alternatif obat halal yang tidak berasal dari babi atau bahan-bahan haram lainnya.

Sumber: Website LP POM MUI

 

 

Ditulis dalam Info Halal. 1 Comment »

Satu Tanggapan to “Kehalalan Obat, Antara Darurat dan Haram”

  1. Lagi-lagi tentang Obat Mengandung Lemak Babi « KAMPUS on Blog Says:

    […] Lemak Babi 22 Oktober, 2008 — admin Pada posting-posting sebelumnya seperti disini dan disini. Udah banyak informasi tentang status kehalalan obat-obatan yang beredar di Indonesia. Tapi […]


Tinggalkan komentar